Angka “17” yang bertengger pada tanggalan kalender bulan Agustus memang jadi hari yang diperingati oleh semua khalayak. Bukan hanya untuk mengenang perjuangan mereka, tapi juga untuk memperlambat kecepatan sejenak. Terkadang perlu kita melihat sejenak masa lalu, bukan untuk diratapi tapi untuk diresapi.
Meresapi masa lalu memang tak mudah, butuh lebih dari sekedar memori akan luka karena penjajahan. Tapi terkadang kita butuh pihak yang bisa bercerita kembali dan tetap diam membisu untuk menjaga ceritanya tetap lugas, jelas dan mantap. Tanpa perlu bersusah payah mencari, “ruang” dihadapan kita sudah bisa mantap bercerita.
Sering disebut miniatur Indonesia, relung-relung di kota Jakarta kali ini siap bercerita. Tanpa segan dan malu mereka berdialog bebas dengan kita di tengah-tengah semarak akan peringatan 17 Agustus. Salah satunya tentang arsitektur, warisan dari penjajah, yang tertinggal.
Sebelumnya bangunan yang ada karena hasil perpaduan berbagai desain budaya, sejak adanya pembentukan profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW) pada tahun 1814 – 1930, penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal.
Untuk peningkatan desain di Indonesia banyak perdebatan pada sekitar tahun 1920 – 1930-an mengenai masalah identitas Indonesia dan karakter tropis. Berberapa arsitek Belanda seperti Thomas Karsten, Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, serta masih banyak lagi yang terlibat dalam wacana yang sangat produktif baik secara akademis maupun praktek. Salah satunya adalah wacana yang dikenal dengan sebutan “Indisch-Tropisch” yang berkembang sekitar tahun 1930-an. Indisch-Tropisch adalah gaya arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang dipengaruhi oleh Belanda.