Diskusi ilmiah FK-MAJ di ICE, BSD City
Sumber : Dokumentasi pribadi
Sumber : Dokumentasi pribadi
The Livable city, inilah tema besar serangkaian acara yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Arsitektur Jakarta. Tepatnya pada hari Sabtu, 28 Mei 2016, Majalah SKETSA berkesempatan meliput diskusi ilmiah yang akrab disebut DisKil. DisKil kali ini membahas Implementasi Transit Oriented Development, khususnya di daerah jakarta. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Indonesia Convention Exhibition di BSD city, tepatnya di Ruang Nusantara 3, bersamaan pula dengan diadakannya IndobuildTech (pameran bangunan dan interior se-Indonesia).
Kegiatan ini diikuti mahasiswa Arsitektur dari beberapa Universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Tarumanagara, Universitas Pancasila, dan universitas lainnya. Dalam kegiatan ini pula MAJ telah mengundang beberapa praktisi dari berbagai multidisiplin ilmu seperti antropolog, arsitek, dan urban designer. Setiap kelompok DisKil ini diikuti oleh 5 sampai 6 orang dari universitas yang berbeda.
Pemaparan materi yang pertama dibawakan oleh Bapak Sandhy Sihotang yang memaparkan mengenai suatu kota yg ideal dengan istilah yang beberapa kali disebut Transit Oriented Development namun diikuti juga Development Oriented Transit dimana Transit dan Development menjadi kata yang komplementer dalam suatu kota.
Kemudian Ibu Evawani Ellisa pun memaparkan berikut contoh kota yang telah menerapkan konsep ini dan terlihat hasilnya, yaitu Tokyo dan Bangkok, di mana kedua kota ini telah lahir dan sejak lama bertumbuh sporadis dan diikuti dengan infrastruktur yang mengintervensi kota. Meningkatkan mobilitas namun tetap bisa mempertahankan kenyamanan para pengguna jalan dan Mass Rapid Transportation. Dosen yang mengajar di UI ini pun memberi kesempatan kepada mahasiswanya, Irwin Rizaldi untuk memaparkan konsep dari tugas akhirnya.
Setelah para pembicara selesai dengan pemaparannya pun ada tanggapan dari seorang mahasiswa dari Universitas Mercu Buana mengenai ketertarikannya terhadap bagaimana Irwin mengimplementasikan konsepnya. Irwin menjelaskan bagaimana ia membentuk kebiasaan berjalan di tempat yang tepat. Tempat yang melarang pengguna jalan dan pedagang kaki lima dibuat miring sehingga arsitektur dapat berperan mengurangi pelanggaran secara eksplisit.
Pembicara yang terakhir adalah Bapak Yophie Septiadi, seorang antropolog sekaligus arsitek. Dalam pemaparannya, beliau melanjutkan konsep TOD yang ditinjau dari segi antropologi. Sesi diskusi ilmiah dimulai dengan bahan yang telah dipaparkan oleh para ahli dan setiap kelompok wajib mempresentasikan rangkuman mengenai interpretasi kelompok terhadap TOD yang diikuti dengan design yang konseptual.
Hasil dari pemaparan tiap kelompok akhirnya menghasilkan suatu konklusi bahwa sebuah TOD menitikberatkan dimensi ruang bagi pejalan kaki yang cukup, transportasi umum yang memadahi, dan mengurangi kepadatan sirkulasi kota. Konektivitas antara ruang dalam kota mendukung mobilitas yang tinggi. Dalam kodratnya manusia memiliki kebutuhan untuk menjadi manusia sepenuhnya, dengan anggota tubuh yang dimiliki untuk berjalan dan sebagainya.
Kegiatan ini diikuti mahasiswa Arsitektur dari beberapa Universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Tarumanagara, Universitas Pancasila, dan universitas lainnya. Dalam kegiatan ini pula MAJ telah mengundang beberapa praktisi dari berbagai multidisiplin ilmu seperti antropolog, arsitek, dan urban designer. Setiap kelompok DisKil ini diikuti oleh 5 sampai 6 orang dari universitas yang berbeda.
Pemaparan materi yang pertama dibawakan oleh Bapak Sandhy Sihotang yang memaparkan mengenai suatu kota yg ideal dengan istilah yang beberapa kali disebut Transit Oriented Development namun diikuti juga Development Oriented Transit dimana Transit dan Development menjadi kata yang komplementer dalam suatu kota.
Kemudian Ibu Evawani Ellisa pun memaparkan berikut contoh kota yang telah menerapkan konsep ini dan terlihat hasilnya, yaitu Tokyo dan Bangkok, di mana kedua kota ini telah lahir dan sejak lama bertumbuh sporadis dan diikuti dengan infrastruktur yang mengintervensi kota. Meningkatkan mobilitas namun tetap bisa mempertahankan kenyamanan para pengguna jalan dan Mass Rapid Transportation. Dosen yang mengajar di UI ini pun memberi kesempatan kepada mahasiswanya, Irwin Rizaldi untuk memaparkan konsep dari tugas akhirnya.
Setelah para pembicara selesai dengan pemaparannya pun ada tanggapan dari seorang mahasiswa dari Universitas Mercu Buana mengenai ketertarikannya terhadap bagaimana Irwin mengimplementasikan konsepnya. Irwin menjelaskan bagaimana ia membentuk kebiasaan berjalan di tempat yang tepat. Tempat yang melarang pengguna jalan dan pedagang kaki lima dibuat miring sehingga arsitektur dapat berperan mengurangi pelanggaran secara eksplisit.
Pembicara yang terakhir adalah Bapak Yophie Septiadi, seorang antropolog sekaligus arsitek. Dalam pemaparannya, beliau melanjutkan konsep TOD yang ditinjau dari segi antropologi. Sesi diskusi ilmiah dimulai dengan bahan yang telah dipaparkan oleh para ahli dan setiap kelompok wajib mempresentasikan rangkuman mengenai interpretasi kelompok terhadap TOD yang diikuti dengan design yang konseptual.
Hasil dari pemaparan tiap kelompok akhirnya menghasilkan suatu konklusi bahwa sebuah TOD menitikberatkan dimensi ruang bagi pejalan kaki yang cukup, transportasi umum yang memadahi, dan mengurangi kepadatan sirkulasi kota. Konektivitas antara ruang dalam kota mendukung mobilitas yang tinggi. Dalam kodratnya manusia memiliki kebutuhan untuk menjadi manusia sepenuhnya, dengan anggota tubuh yang dimiliki untuk berjalan dan sebagainya.