Pada hari Sabtu, 2 Maret 2016, SKETSA berkesempatan untuk menghadiri acara sharing and group discussion yang membahas "The Livable City" dengan Mahasiswa Arsitektur Jakarta. Kegiatan ini berlangsung di Universitas Bina Nusantara yang berlokasi di Jalan Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah. Kegiatan ini diikuti mahasiswa Arsitektur dari beberapa Universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Tarumanagara, Universitas Pancasila dan lain-lain. Dalam kegiatan ini pula MAJ, Sigit Kusumawijaya, urban designer yang memaparkan konsep kota yang livable.
Sebelum memasuki kegiatan sharing oleh Sigit Kusumawijaya, peserta melakukan ice breaking dengan memperkenalkan diri, asal universitas dan menceritakan pengalaman terburuk dalam kehidupan.
Sebelum memasuki kegiatan sharing oleh Sigit Kusumawijaya, peserta melakukan ice breaking dengan memperkenalkan diri, asal universitas dan menceritakan pengalaman terburuk dalam kehidupan.
Seminar bersama Sigit Kusumawijaya
Sumber: Dok. SKETSA
Sumber: Dok. SKETSA
“Beberapa elemen yang harus diperhatikan dalam keberlangsungan kota/urban adalah isu sosial, ekonomi dan ligkungan,” ujar Sigit Kusumawijaya, nominasi “Satu Indonesia Award 2011: Indonesia Inspiring Youth”.
Isu sosial berkaitan dengan jumlah penduduk di Indonesia merupakan salah satu pokok permasalahan. Pertambahan penduduk yang tidak terkendali, tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, kontak sosial sekarang ini juga ikut menurun seiring dengan perkembangan zaman.
Isu ekonomi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang belum merata hanya terjadi di kota metropolitan dan kota besar. Selain itu, nilai lahan yang semakin tinggi, sumber daya alam terbatas, dan modernisasi yang mengarah pada homogenisasi wajah kota (seperti misalnya, banyaknya mall di Jakarta, namun mall-mall tersebut sebenarnya menyediakan hal yang sama, itulah yang dimaksud dengan homogenisasi).
Isu lingkungan, daya dukung lingkungan yang merosot, kemacetan lalu lintas, merosotnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau. Isu ini perlu diperhatikan dan disadari sehingga (kita) mampu melakukan respon yang tepat khususnya sebagai mahasiswa arsitektur.
Dalam pemaparan “The Livable City”, juga terdapat pembahasan akan minimnya ruang terbuka hijau di Jakarta. Kali ini, Sigit Kusumawijaya membahas wilayah “peri urban” yaitu wilayah yang terletak di antara dua wilayah yang sangat berbeda kondisi lingkungannya memiliki kenampakan pedesaan dan perkotaan. Sejak tahun 2000, kota-kota besar mulai kehilangan ruang hijau yang beralih fungsi akibat proses pembangunan dan komersialisasi. Hal ini diperparah dengan isu urbanisasi dimana warga desa tergiur untuk ke kota dan berhenti bercocok tanam. Harga kebutuhan pangan meningkat hingga Indonesia harus mengimpor kebutuhan pokok dan berujung pada “global food crisis”
Isu sosial berkaitan dengan jumlah penduduk di Indonesia merupakan salah satu pokok permasalahan. Pertambahan penduduk yang tidak terkendali, tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, kontak sosial sekarang ini juga ikut menurun seiring dengan perkembangan zaman.
Isu ekonomi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang belum merata hanya terjadi di kota metropolitan dan kota besar. Selain itu, nilai lahan yang semakin tinggi, sumber daya alam terbatas, dan modernisasi yang mengarah pada homogenisasi wajah kota (seperti misalnya, banyaknya mall di Jakarta, namun mall-mall tersebut sebenarnya menyediakan hal yang sama, itulah yang dimaksud dengan homogenisasi).
Isu lingkungan, daya dukung lingkungan yang merosot, kemacetan lalu lintas, merosotnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau. Isu ini perlu diperhatikan dan disadari sehingga (kita) mampu melakukan respon yang tepat khususnya sebagai mahasiswa arsitektur.
Dalam pemaparan “The Livable City”, juga terdapat pembahasan akan minimnya ruang terbuka hijau di Jakarta. Kali ini, Sigit Kusumawijaya membahas wilayah “peri urban” yaitu wilayah yang terletak di antara dua wilayah yang sangat berbeda kondisi lingkungannya memiliki kenampakan pedesaan dan perkotaan. Sejak tahun 2000, kota-kota besar mulai kehilangan ruang hijau yang beralih fungsi akibat proses pembangunan dan komersialisasi. Hal ini diperparah dengan isu urbanisasi dimana warga desa tergiur untuk ke kota dan berhenti bercocok tanam. Harga kebutuhan pangan meningkat hingga Indonesia harus mengimpor kebutuhan pokok dan berujung pada “global food crisis”
Peri Urban
Sumber: http://www.hrcindonesia.org/#!peri-urban-bagian-dari-wajah-kota-masa-/chd8
Sumber: http://www.hrcindonesia.org/#!peri-urban-bagian-dari-wajah-kota-masa-/chd8
Sigit Kusumawijaya mengambil studi kasus kota Padalarang yang masih memiliki persentase ruang terbuka hijau yang lebih banyak dibandingkan dengan Jakarta. Dalam menanggapinya, kita mulai berusaha untuk menciptakan ruang hijau di ruang indoor, seperti di dalam mall terkadang terdapat tempat bermain dengan suasana taman, sayangnya mereka membuat ruang terbuka terdebut dengan tanaman artificial (buatan).
Konsep Livable city/ kota layak huni juga terkait dengan konsep green city yang memiliki elemen-elemen seperti: green planning and design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, green community. Konsep ini perlu didukung pula dengan sikap yang tepat dalam mewujudkan kota layak huni seperti pemilihan material dan konstruksi bangunan yang lebih ramah yang berkaitan erat dengan isu ekonomi, sosial dan lingkungan
“Kita baiknya tidak terlalu memikirkan mahalnya biaya pembuatan tersebut, kita seharusnya lebih memikirkan adanya kemungkinan biaya perawatan yang lebih mahal bila kita memasang instalasi yang lebih murah. Bila kita memasang instalasi yang lebih mahal, biaya perawatannya bisa menjadi lebih murah,” ujar Sigit Kusumawijaya yang menyelesaokan studi urban di TU Delft.
Sebuah kota dapat dikatakan sebagai sustainable city bila ia memiliki ciri berikut: compact development, high density living, transit oriented, ecology in the city, dan ecofriendly architecture
Konsep Livable city/ kota layak huni juga terkait dengan konsep green city yang memiliki elemen-elemen seperti: green planning and design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, green community. Konsep ini perlu didukung pula dengan sikap yang tepat dalam mewujudkan kota layak huni seperti pemilihan material dan konstruksi bangunan yang lebih ramah yang berkaitan erat dengan isu ekonomi, sosial dan lingkungan
“Kita baiknya tidak terlalu memikirkan mahalnya biaya pembuatan tersebut, kita seharusnya lebih memikirkan adanya kemungkinan biaya perawatan yang lebih mahal bila kita memasang instalasi yang lebih murah. Bila kita memasang instalasi yang lebih mahal, biaya perawatannya bisa menjadi lebih murah,” ujar Sigit Kusumawijaya yang menyelesaokan studi urban di TU Delft.
Sebuah kota dapat dikatakan sebagai sustainable city bila ia memiliki ciri berikut: compact development, high density living, transit oriented, ecology in the city, dan ecofriendly architecture
Foto Bersama Mahasiswa dengan Pak Sigit
Sumber: Dok. SKETSA
Sumber: Dok. SKETSA
kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, berbagai peserta berbagai Universitas antusias mengajukan bertanya dan menanggapi isu-isu di Indonesia yang telah dijelaskan dalam sesi seminar. Setelah sesi tanya jawab selesai, acara dilanjutkan dengan foto bersama antara Pak Sigit dan peserta seminar. (SE, M, MDH)